Rabu, 13 Juni 2012

Mahasiswa Australian Masuk Pesantren

http://www.umm.ac.id/files/image/ACICIS.jpgmahasiswaMahasiswa Australian Consortium for In-country Indonesia Studies (Acicis) yang sedang studi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Katrina Wallis, mengaku terkesan ketika melakukan penelitian di Pondok Pesantren An-Nur 2 Bululawang dan Ar-Rifa'i Gondang Legi. Ia bahkan sempat ikut "nyantri" di dua pesantren di kabupaten Malang itu selama dua minggu.

"Saya terlibat banyak kegiatan bersama para santri. Satu kamar kami tidur dengan 70-an orang, dengan fentilasi yang sangat minim," kata Katrin yang menyesuaikan pakaiannya dengan berbusana muslim selama di pesantren. Pakaian yang sama juga dikenakannya ketika mempresentasikan hasil penelitiannya di kampus I UMM, Senin (11/6).

Ketertarikan Katrin meneliti pesantren didasarkan pada pertanyaan besar tentang bagaimana pesantren mempersiapkan santrinya menghadapi arus deras modernisasi. "Saya menelusuri bagaimana manajemen pendidikan yang diterapkan, fasilitas, kurikulum pendidikan yang dijadikan pesantren sebagai unggulan menghadapi modernisasi," ungkap Katrin. Sejumlah santri, ustadz, pengurus pesantren dijadikannya sebagai informan.

Katrin menemukan sejumlah kesimpulan menarik. Kedua pesantren sepakat bahwa modernisasi harus dihadapi dengan memberi modal santri dengan pengetahuan agama yang kuat. Namun disisi lain, santri juga dibekali dengan penguasaan teknologi, baik melalui kurikulum maupun fasilitas. "Di kedua pesantren diajarkan keterampilan komputer, mempelajari Quran secara online, bahkan di Ar-Rifa'i santri diperbolehkan membawa laptop," lanjut mahasiswa semester akhir di Flinders University Adelaide Australia ini.

Uniknya, meski telah dikenalkan dengan teknologi informasi dan memiliki website dan blog yang cukup menarik, kesetaraan gender yang merupakan bagian dari kurikulum modern belum diterapkan. "Santrinya perempuan, tetapi yang mengajar tetap didominasi laki-laki, tidak ada guru perempuan atau ustadzah," kata Katrin menyayangkan. Padahal guru perempuan bisa menjadi model bagaimana seharusnya perempuan berperan dalam sektor publik.

Pembimbing Katrin, Widiya Yutanti, MA, menilai penelitian Katrin cukup berhasil. Wawancara dengan informan berlangsung terbuka karena Katrin berhasil menyelami informan dengan terlibat di dalam pesantren. "Dunia pesantren memang unik. Sebagai alumni pesantren, saya bisa merasakan bagaimana tuntutan menghadapi dunia luar. Orang tua menyekolahkan saya ke pesantren justru karena mereka merasa tidak cukup punya  waktu dan kemampuan untuk mendidik saya menghadapi modernisasi itu," ungkap Widiya yang juga koordinator Acicis UMM.

Selain Katrin, ada enam lagi mahasiswa Acicis asal Australia dan dua asal Amerika Serikat yang mempresentasikan hasil risetnya hingga Selasa (12/6). Rianna Tatarelli, misalnya, secara kritis meneliti dampak pembangunan mal terhadap pasar tradisional di Blimbing dan Dinoyo, Malang. Pasar tradisional, menurutnya, tak hanya memiliki dampak ekonomi tetapi juga budaya.  Rianna menyimpulkan pasar modern boleh dibangun tetapi transaksi secara tradisional masih perlu dipertahankan.

                Sementara itu, penelitian Dale Druhan mengambil tema tentang pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah di Malang. Ia menyimpulkan, pendidikan menjaga kebersihan dan menjaga lingkungan cukup berhasil di sekolah tetapi di luar sekolah tetap menjadi masalah. Siswa-siswi sekolah memang tertib di sekolah, tetapi di rumah atau di lingkungan sosial lainnya, belum tentu menjaga kebersihan.  

                Penelitian menarik dilakukan Wyatt Gordon. Mahasiswa asal American University Pentagon ini meneliti industri keramik di Dinoyo Malang. Di AS, katanya, tidak ada rumah yang jadi pabrik, tetapi di Malang keramik yang dulu diproduksi di pabrik, sejak krisis ekonomi 1998 pabrik ditutup, dan menjadi industri rumahan. "Jadi ini menarik, rumah menjadi pabrik-pabrik kecil sekaligus menjadi toko-toko keramik," kata Wyatt.

Namum disayangkan, industri rumahan ini kurang berhasil dipasarkan. Selain karena produksinya terbatas juga akses ke lokasi kampong keramik itu kurang luas. "Tidak ada tempat parker di sana, karena memang dulu itu bukan jalan besar. Rumah-rumah itu dulunya adalah rumah karyawan pabrik bukan took," kata Wyatt. Ia menyarankan, pabrik yang sudah tutup itu dijadikan wisata keramik karena memiliki area parkir, yang bisa memamerkan hasil produksi rumahan. (uci/nov/nas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar